EVENT

05 August 2010

Metodologi Survei - The Best Trade Marketing and Distribution Performance 2010

THE BEST TRADE MARKETING AND DISTRIBUTION PERFORMANCE 2010

Metodologi Survei

               Penilaian kinerja perusahaan pada “The Best Trade Marketing and Distribution Performance 2010” ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh Qasa Consulting, perusahaan riset bidang retail marketing dan “entry strategy”. Survey tahun ini merupakan yang ke-5 kalinya dilakukan oleh Qasa yang menjangkau sebanyak 1.222 sample di 7 kota besar (Jabodetabek, Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, Medan & Makassar). Pengumpulan data dilakukan  pada bulan April 2010.


               Target survey adalah Toko Kelontong/P&D (besar & kecil) dan Kios Rokok. Pertimbangannya dipilihnya trade channel ini adalah  masih besarnya perputaran distribusi barang Fast Moving Consumer Goods  pada trade channel tradisional ini di Indonesia. Mereka adalah toko-toko yang berskala besar maupun kecil, dan kios-kios rokok yang berlokasi di dalam kawasan pasar-pasar basah (wet market) maupun yang tersebar di bagian-bagian kota lainnya.

               Perbedaan signifikan antara survey tahun ini dengan surveu tahun-tahun sebelumnya adalah pada indikator kinerja (variable yang dinilai). Apabila pada tahun 2006-2009 survei mengukur “Brand Index” (indicator kinerja merek/produk), maka  pada tahun ini “Brand Index” diganti oleh “Trade Marketing Index”. Indikator yang digunakan untuk mengukurnya adalah: ketersediaan barang, kemasan yang sesuai, materi promosi dan harga jual yang sesuai dengan harga pasar. Pada “Account Management Index” indikator yang digunakan masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni: penilaian umum terhadap kinerja salesman, frekuensi kunjungan, kegiatan salesman di toko, serta penanganan terhadap keluhan.

               Masing-masing indikator dinilai sesuai dengan kondisi apa adanya di took sehingga diperoleh score untuk setiap indikator.  Selain itu pengecer juga diminta untuk menilai tingkat kepentingan setiap indikator yang disurvei dari kacamata pengecer itu sendiri.  Oleh karena itu sangat dimungkinkan indikator yang menurut pemain pasar penting akan dinilai sebaliknya oleh pengecer.

               Sample responden ditentukan dengan menggunakan metode ”Stratified Random Sampling,” dengan menentukan persentase minimal keterwakilan populasi dari setiap kelompok jenis toko. Metode tersebut digunakan agar keragaman diantara tipe toko dapat tercermin dari sample yang diambil.

               Setelah jumlah sample setiap kota dan setiap tipe trade channel diperoleh, pengambilan sample dilapangan dilakukan dengan metode ”Systematic Random Sampling”, dimana sample yang diperoleh dipilih dengan cara acak dengan interval minimum 100 meter antar toko yang disurvei.

               Indeks yang mencerminkan baik buruknya kinerja kedua parameter dihitung untuk menilai kinerja seluruh pemain pasar pada 11 produk kategori yang disurvei di pasar; yakni Index Trade Marketing (Trade Marketing Index) dan indeks pengelolaan pelanggan (Account managament index). Dari kedua index tersebut diperoleh indeks keseluruhan (Overall Index).


Distribusi dan Trade Marketing

               Ketika ide untuk menyegarkan agenda tahunan Qasa Consulting dengan MIX yang semula bertajuk “the Most Powerful Distribution Performance” menjadi “The Best Distribution and Trade Marketing Performance” bergulir di awal 2010, pertanyaan yang muncul dibenak kami adalah “Trade Marketing yang mana yang akan dicakup dalam survei?”, dan naluri riset kami juga mempertanyakan “bagaimana mengukurnya?”.  Kemampuan menjawab kedua pertanyaan ini merupakan fondasi untuk melangkah sampai tahap penerbitan Mix edisi Juli 2010 ini.

               Sementara itu, kepentingan untuk memasukkan Trade marketing dalam agenda tahunan sendiri sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, mengingat peta persaingan bisnis FMCG di tingkat pengecer hampir pada setiap kategori produk begitu sengitnya. Keberhasilan produk/merek berjaya di tingkat pengecer menjadi keharusan dalam rangka memenangkan persaingan.

               Sejak tahun 2006 ketika program ini dimulai, penilaian kinerja distribusi perusahaan ditekankan pada hasil  kenerja produk/merek yang didistribusikan di pasar, bukan pada sistem distribusi yang diterapkan. Sehingga kriteria-kriteria penilaian kinerja distribusi sangatlah jelas, yakni pada indikator-indikator yang bermuara pada ketersediaan produk/merek di pasar dan bagaimana salesman distributor/agen mengelola pelanggan sehingga sales opportunities bisa dioptimalkan dengan baik.  Komponen-komponen ini pula yang menjadi dasar penilaian terhadap 11 kategori produk yang dievaluasi kinerja distribusinya pada tahun 2010 ini.

               Ketika Trade Marketing masuk menjadi bagian penilaian, kriteria penilaian dituntut untuk menggunakan basis yang sama, yakni pada hasil yang diharapkan; bukan pada proses. Pertanyaannya adalah hasil yang seperti apa yang diharapkan?

               Di Indonesia konsep dan praktek trade marketing mengalami evolusi yang cukup signifikan paling tidak selama 10 tahun terakhir. Pemahaman trade marketing yang cenderung bias ke sales (daripada ke marketing) mengawali perkembangan bidang ini; terutama ketika trade marketing identik dengan praktek “sales tactic” dengan memberikan beragam “trade incentives” kepada jaringan distribusi (distributor, wholesaler, maupun trader) untuk mendongkrak penjualan temporer.

               Perkembangan selanjutnya bidang ini sangat bervariasi antar perusahan. Di beberapa perusahaan, Trade Marketing mengarah pada trade promotion, sementara itu beberapa lagi lebih mengarah pada fungsi yang menjembatani marketing dengan sales. Jobdes seorang trade marketers juga bervariasi antar perusahaan.

               Menarik untuk mengamati perkembangan Trade Marketing akhir-akhir ini. Terdapat kecenderungan Trade Marketing telah menjadi bagian integral dari total marketing strategi perusahaan yang tidak hanya focus pada consumer marketing, melainkan juga pada customer marketing.  Sehingga upaya marketing suatu produk/merek tidak hanya untuk menciptakan/meningkatkan permintaan (demand creation) pada level konsumen; melainkan juga untuk meningkatkan permintaan pada level customers.

               Selain untuk menghindarkan kesalahan konvensional seperti terjadinya “over-stock” di trade channel tertentu, secara bisnis, strategi ini memungkinkan optimalisasi upaya-upaya marketing terfokus pada channel-channel yang lebih menguntungkan. Melalui strategi ini sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan focus brand/kemasan/harga untuk setiap trade channel untuk memenuhi permintaan konsumen yang dilayani oleh channel tersebut.

               Di banyak perusahaan, variasi ini masih dipertajam dengan mengkombinasikan wilayah geografis (yang lebih menguntungkan) dengan alasan bervariasinya wilayah Indonesia, baik dari sisi distribution dan marketing costs-nya maupun segmen konsumen yang dilayani. Oleh karena itu,  hasil akhir yang diharapkan adalah terciptanya situasi dimana merek/produk yang tepat selayaknya dijual pada trade channel yang tepat, dengan  kemasan dan harga yang tepat -- sesuai konsumen yang dilayani channel tersebut, dan “looking good” sehingga tercapai optimalisasi penjualan.

               Adalah perusahaan distribusi yang harus memastikan bahwa pengecer menjual produk dengan kemasan yang paling laku dan dijual pada harga yang pas buat konsumen yang dilayaninya. Salesman juga harus memastikan bahwa pajangan produk dan POP materials tersedia di pasar dan terpasang dengan baik di outlet.

               Dari sisi proses riset, tantangannya adalah bagaimana mengukur indikator-indikator yang menggambarkan “ketepatan/kesesuaian” produk, kemasan dan harga dengan channel yang menjual produk tersebut. Sementara untuk indikator “looking good” dapat terwakili dengan display  produk dan POP materials penunjangnya.

               Untuk melihat kesesuaian ini Qasa melakukan benchmarking terhadap merek, kemasan, dan harga (sesuai dengan kemasannya) yang paling laku di channel yang diteliti. Logikanya adalah kemasan yang paling laku adalah kemasan yang paling “secara alami sesuai” untuk channel tersebut.  Demikian pula harga. Melihat hasil survey yang kami lakukan, terdapat beberapa hal yang menarik untuk disampaikan disini, yakni:

  1. Merek-merek yang bearjaya pada level “Account Management”, yang berarti pengecer dikelola dengan lebih baik oleh distributor, tidak menjamin mereka akan otomatis berjaya di trade marketing-nya.  Keadaan ini dijumpai pada setiap produk kategori yang disurvei.
  2. Membandingkan merek-merek yang memiliki kinerja trade marketing terbaik antar kategori, beberapa hal menarik adalah:
    1. Sunsilk, dari kategori Sampo, adalah merek yang memiliki kesesuaian kemasan terbaik.
    2. Dji Sam Soe, dari kategori rokok, merupakan merek yang memiliki POP materials terbaik.
    3. Dari sisi kesesuaian harga, Ale-Ale dari kategori Juice, merupakan merek yang memiliki kesesuaian harga terbaik.
  3. Sementara itu dari sisi Account Management, Fatigon dari kategori Isotonik, merupakan merek yang memiliki Account Management Index tertinggi apabila dibandingkan dengan merek-merek dari kategori lainnya.

     

swa, mix, qasa, marketing, consultant, magazine, distribution, trade, research, retail, distribution, performance, Fast Moving Consumer Goods, FMCG, Brand, Index, account, management, Stratified Random Sampling


pemasaran, konsultan, majalah, distribusi, perdagangan, riset, penelitian, ritel, outlet, toko, distribusi, pengecer, performa, indeks, merk, merek, akun, manajemen